Di suatu pagi yang muram tapi penuh gosip, suasana kantor Kelurahan Suka Tunda mendadak serius. Bukan karena kunjungan Pak Camat, bukan pula karena pembagian BLT, tapi karena satu hal:
Bu Lurah Sri makin liar.
Dalam dua minggu terakhir, sudah tiga honorer pria yang mendadak mengundurkan diri dengan alasan “tekanan mental.” Padahal badan mereka sehat, wajah bahagia… tapi ada kilatan trauma di mata.
Yang terbaru: Mas Imam, petugas arsip, keluar sambil gemetar dan berbisik ke Pak Kasi:
“Saya cuma disuruh ambil map… tahu-tahu disuruh pegang kaki Bu Lurah. Katanya… keseleo karena kelamaan duduk nyilang.”
Pak Kasi, seorang pria botak dengan semangat reformasi yang padam sejak 2004, akhirnya bertindak. Ia memanggil tiga tokoh kunci kelurahan:
Bu Sumi, Bendahara sekaligus ibu PKK yang anti-lendir
Pak Darto, staf lama yang hampir pensiun tapi masih suka main catur di jam kerja
Maya, honorer cewek yang selalu curiga dan suka rekam suara diam-diam
Mereka berkumpul di kantin belakang kantor, di meja kopi yang biasanya cuma dipakai buat nggosip harga cabe.
“Teman-teman… kita butuh perubahan. Kalau enggak, tahun depan kelurahan ini berubah jadi cabang salon plus-plus.”
Bu Sumi mengangguk mantap.
“Saya udah curiga waktu Bu Lurah ngajuin anggaran essential oil senilai 3 juta. Katanya buat ‘menenangkan suasana kerja’. Tapi kok tiap sore ruangan dia wanginya kayak spa Thailand?!”
Maya langsung mengeluarkan rekaman suara. “Mas Jaka… coba tekan tombol power printer pelan-pelan… yaaa begitu… dalam… tahan…”
Pak Darto menelan kopi pahit tanpa gula.
“Yaa Allah, ini bukan pelayanan… ini perbuatan tidak terpuji berstandar ISO 6969.”
Akhirnya diputuskan: diadakan Sidang Etik Internal, bertempat di Balai Rapat, dengan syarat:
Tidak resmi
Tanpa surat
Tapi berita acaranya diketik pakai font Times New Romance
Mereka undang Bu Lurah diam-diam, pakai kode:
“Bu, kami butuh evaluasi kinerja dalam perspektif transversal gender dan interaksi hierarki fungsional.”
Bu Lurah datang dengan daster bermotif anggrek dan kipas lipat, pikirannya mungkin mengarah ke kegiatan lain. Tapi wajahnya berubah saat lihat meja disusun seperti ruang interogasi KPK.
“Ini… kok kayak forum pengadilan?”
“Benar, Bu. Ini forum etik. Kami mau tanya: apakah benar… Anda menyalahgunakan jabatan untuk… ‘pelayanan khusus’ terhadap honorer laki-laki?”
Bu Lurah tertawa pelan.
“Wah… saya ini janda mandiri. Kadang butuh bantuan. Masa minta pijat pundak dibilang pelecehan?”
Maya membalas cepat.
“Kalau cuma pundak, mungkin enggak masuk pasal. Tapi rekaman saya nunjukin kegiatan lain, Bu. Seperti… ‘ajakan relaksasi di atas berkas Bansos’.”
Bu Lurah tersenyum, berdiri, lalu berkata tenang:
“Baik. Kalau kalian merasa terganggu… saya mundur saja dari jabatan. Tapi jangan kaget kalau pelayanan kelurahan jadi dingin… sepi… tidak menggairahkan lagi.”
Semua diam. Bahkan Pak Darto berhenti mengaduk kopi.
Tapi sebelum pergi, Bu Lurah sempat menatap Jaka yang duduk diam di pojok ruangan, dan berkata:
“Mas Jaka… terima kasih ya. Lembur kita… tidak akan saya lupakan. Kamu adalah… ASN dalam hatiku.”
Keesokan harinya, Bu Lurah tidak masuk kerja. Di meja kerjanya hanya tertinggal secarik surat:
“Saya cuti pribadi untuk menenangkan diri. Jangan cari saya. Saya sedang… mengevaluasi etika dengan cara yang lebih privat.”
Dan di pojok kertas, ada coretan kecil:
P.S.: Mesin ketik saya bawa pulang. Jangan diutak-atik. Itu… sakral.
Sejak itu, pelayanan di Kelurahan Suka Tunda memang lebih formal. Tapi kata Pak Darto:
“Formal sih… tapi hambar. Seperti kopi tanpa kopi. Atau kerja tanpa daster motif anggrek.”
*Cerita ini hanya fiktif belaka dan karangan dari redaksi.