Setelah cuti mendadak dua minggu, Bu Lurah Sri Wahyuni kembali ke Kelurahan Suka Tunda dengan aura baru: daster diganti blazer, parfum herbal diganti citrus Itali, dan yang paling mengejutkan:
Dia tidak lagi panggil Jaka ke ruangannya.
Bukan karena insaf. Tapi karena ada tamu baru.
Namanya: Pak Arya, 45 tahun, auditor dari Inspektorat Kabupaten. Tinggi, cool, celananya licin disetrika, dan senyumnya seperti lelaki yang tahu semua dosa orang… tapi sabar menunggu waktu yang tepat buat buka bukti.
Desas-desus cepat menyebar.
“Katanya Pak Arya itu… mantan pacar Bu Lurah pas kuliah.”
“Dulu sempat mau nikah, tapi Bu Sri pilih PNS, bukan cinta.”
“Nah sekarang mereka ketemu lagi… pas laporan SPJ belum diunggah.”
Dunia memang sempit. Dan meja disposisi jadi saksinya.
Suatu sore yang mendung, Jaka diminta oleh Bu Lurah mengetik laporan serapan dana. Sialnya, printer mati. Solusinya? Mengetik manual di ruang Lurah, lagi.
Jaka masuk. Di dalam sudah ada Pak Arya, duduk santai, ngeteh.
Bu Lurah berdiri, lalu bilang:
“Mas Jaka, tolong ya… bantu saya ketik disposisi yang kemarin belum sempat ditandatangani. Kita selesaikan sekarang.”
Jaka mulai mengetik. Tapi suasana cepat berubah tegang. Pak Arya berdiri, mendekat ke Bu Lurah.
“Kamu masih suka main-main di balik jabatan, ya?”
“Arya… tolong. Ini kantor. Jangan mulai.”
“Dulu kamu juga bilang ‘jangan mulai’… tapi kamu yang ninggalin aku demi jadi CPNS!”
“Saya butuh masa depan stabil!”
“Sekarang stabil? Atau kamu cari stabilitas di balik ketikan honorer?”
BRUK!
Pak Arya tiba-tiba menaruh map tebal di atas meja disposisi. Isinya: bukti. Print screen. Notulensi. Bahkan… invoice pembelian aromaterapi yang nilainya tidak masuk akal.
“Kamu bisa mainkan semua orang, Sri. Tapi tidak aku. Dan aku akan audit… sampai ke selimut laporanmu.”
Tiba-tiba listrik padam.
Sunyi. Kecuali suara napas yang tersengal, antara tegang dan rindu lama yang belum lunas.
Dalam gelap, Bu Lurah mendekat.
“Arya… jangan begini. Kita bisa bicara baik-baik. Mungkin… sambil nostalgia.”
“Aku tidak lupa caramu tatap aku waktu skripsi, Sri. Tapi sekarang kamu bukan mahasiswi genit. Kamu pejabat publik. Dan… aku auditor!”
“Audit aku, Arya… tapi jangan lupa, cinta juga perlu klarifikasi…”
Dan entah karena emosional atau karena meja disposisi itu entah kenapa empuk, mereka berakhir di atasnya.
“Aku masih hafal cara kamu mengetik…”
“Aku juga masih ingat kamu suka file PDF…”
“Tapi sekarang aku cuma mau file RAB, Rapelan Asa dan Birahi.”
Esok paginya, Jaka masuk ruangan. Meja disposisi berantakan. Ada secarik memo:
“Jangan pakai meja ini dulu. Ada urusan audit mendalam.”
Dan satu map diselipkan ke bawah keyboard:
“Jaka, kamu sekarang saya angkat jadi tenaga kontrak. Tapi hati-hati… cinta bisa direvisi sewaktu-waktu.”
Bu Lurah.
Kisah ini menyebar cepat. Dan di grup ASN, muncullah istilah baru:
“Audit Baper”: saat laporan dan perasaan dibuka bersamaan, tapi tak semua bisa ditandatangani.”
*Cerita ini hanya fiktif belaka dan karangan dari redaksi.