Di Kelurahan Suka Tunda, ada satu ruangan yang paling sakral: ruang kerja Bu Lurah Sri Wahyuni.
Kenapa sakral?
Karena di situlah berdiri satu-satunya mesin ketik tua yang katanya bisa “menghidupkan gairah pelayanan publik.”
Bu Lurah Sri, janda elegan usia 42 tahun, selalu pakai kebaya ketat dan rok span selutut. Terkenal disiplin dan cerewet. Tapi rumor beredar, dia punya kelemahan di balik meja: suaranya berubah manja kalau dengar suara tombol mesin ketik.
“Tok-tok-tok… cling!”
Itu bukan suara biasa. Itu semacam… pemanggil roh pelayanan prima.
Datanglah seorang honorer baru bernama Jaka, 26 tahun, lulusan sarjana hukum tapi gagal jadi PNS.
Ganteng, badannya kekar, dan celananya selalu agak ketat, mungkin terlalu ketat untuk kantor kelurahan yang AC-nya cuma kipas angin yang bunyinya kayak pengakuan dosa.
Hari pertama Jaka masuk, Bu Lurah langsung nyodorin map dan bilang:
“Mas Jaka, coba ketik surat undangan ini. Pakai itu, ya…”
(jari Bu Lurah menunjuk mesin ketik, tapi matanya menatap daerah resiko.)
Jaka duduk. Tangan mulai menari di atas tombol mesin ketik.
“Tok-tok-tok… cling!” Bu Lurah refleks berdiri.
“Aduh… Mas Jaka, ketukannya mantap, ya. Padat… tapi rapi.”
Jaka tersenyum.
“Saya biasa ketik skripsi 100 halaman, Bu. Dulu sampai bengkak jari.”
Bu Lurah tertawa kecil, lalu dengan sangat pelan menurunkan resleting kursi putarnya dan duduk lebih dekat.
“Kalau jari bengkak, jangan lupa… rendam air hangat. Tapi kalau otot pegal… saya bisa bantu pijat ringan.”
Hari-hari berikutnya, Bu Lurah semakin sering “butuh bantuan mengetik.” Bahkan surat undangan posyandu pun harus Jaka yang ketik.
Kadang Bu Lurah berdiri di belakangnya terlalu dekat, napasnya sampai bikin rambut Jaka berdiri. Kadang dia kasih contoh kalimat sambil mencondongkan badan, membiarkan aset negara menyentuh punggung Jaka “secara tidak sengaja”.
Sampai suatu hari, Pak Camat datang inspeksi mendadak. Masuk ruangan, kaget:
Bu Lurah dan Jaka sedang… mengetik berdampingan. Tapi Bu Lurah duduk di pangkuan Jaka, alasannya karena “kursinya copot.”
“Saya sedang dampingi dia input data, Pak. Supaya efektif dan efisien,” katanya, sambil tersenyum seperti tidak sedang menindas integritas birokrasi.
Pak Camat diam. Lalu berkata:
“Mesin ketik ini… sebaiknya disingkirkan. Sudah jadul, tidak sesuai zaman. Gunakan komputer.”
Bu Lurah pucat. Jaka pasang tampang sedih. Tapi kemudian Bu Lurah menjawab,
“Maaf, Pak. Mesin ini… warisan. Benda keramat. Tiap ketikannya… bikin saya merasa hidup.”
*Cerita ini hanya fiktif belaka dan karangan dari redaksi.