Denpasar — Puluhan masyarakat sipil Bali yang tergabung dalam Koalisi MUAK (Masyarakat untuk Adili Kejahatan HAM) menggelar doa bersama di Pura Dharma Praja Udiana, kawasan Kantor DPRD Provinsi Bali, Jumat (7/11). Doa itu digelar sebagai bentuk penolakan atas rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, mantan Presiden RI ke-2, yang dinilai memiliki rekam jejak panjang pelanggaran HAM dan praktik korupsi selama berkuasa.
Suasana di halaman pura tampak khusyuk. Warga yang hadir mengenakan busana adat sembahyang, membawa dupa dan canang. Namun kekhusyukan itu sempat terusik oleh kehadiran aparat kepolisian yang berjaga ketat di sekitar lokasi. Menurut peserta, petugas bahkan melarang warga membentangkan spanduk bertuliskan “Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto”.
“Dari awal kami hanya ingin berdoa secara damai. Tapi justru dihadang, diawasi, bahkan difoto-foto oleh aparat. Ini memperlihatkan bagaimana represi masih hidup di negeri ini,” kata seorang perwakilan Koalisi MUAK, Tomy Wiria usai kegiatan.
Tomy menjelaskan, aksi doa bersama itu berawal dari keprihatinan masyarakat sipil atas langkah Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Usulan tersebut disebut telah diterima Istana dan tengah dikaji oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, dengan hasil yang rencananya akan diumumkan pada 10 November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan.
“Bagi kami, ini bukan sekadar penghargaan yang keliru, tapi juga upaya pengaburan sejarah. Soeharto punya catatan panjang sebagai pelaku pelanggaran HAM dan KKN yang belum pernah diadili,” tegas Tomy.
Ia menambahkan, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto telah menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan menindas. Dalam masa transisi dari rezim Soekarno ke Soeharto pada 1965–1966, ribuan orang menjadi korban kekerasan politik, termasuk di Bali.
“Di Bali saja, setidaknya 80 ribu jiwa hilang akibat kekerasan politik yang terjadi saat itu. Belum lagi penggusuran tanah adat di Tamblingan dan Tanah Lot atas nama pembangunan pariwisata,” ujarnya.
Koalisi MUAK juga menyoroti berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat lain yang terjadi di masa Orde Baru, seperti Tragedi Talangsari di Lampung tahun 1989, penghilangan paksa aktivis 1997–1998, serta kerusuhan Mei 1998 yang disertai puluhan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Semua itu, menurut Tomy, menjadi bukti nyata bahwa Soeharto tak pantas disebut pahlawan.
“Bagaimana mungkin seseorang dengan sejarah kelam seperti itu diberi gelar pahlawan? Itu sama saja mencederai korban dan keluarganya,” ucap Tomy dengan nada tegas.
Selain pelanggaran HAM, Tomy juga menyinggung warisan kebijakan ekonomi Soeharto yang dinilai eksploitatif. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Soeharto disebut membuka jalan bagi perusahaan besar untuk mengambil alih kawasan hutan rakyat. Dampaknya, banyak masyarakat adat kehilangan tanah dan ruang hidupnya.
Dikenal sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”, Soeharto juga memiliki catatan panjang kasus korupsi. Berdasarkan TAP MPR XI/MPR/1998, ia dituding sebagai pelaku utama praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar hingga kini. Namun penyelidikan hukum terhadapnya berhenti setelah keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) pada 2006.
“Jika negara benar-benar memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, itu artinya Presiden Prabowo melanggengkan warisan KKN dan mengkhianati semangat reformasi 1998,” kata Tomy.
Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi MUAK menyampaikan lima tuntutan utama, yakni:
- Menghentikan seluruh upaya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
- Meminta partai politik, DPR, dan MPR menolak usulan tersebut.
- Mendesak Presiden dan DPR menegakkan hukum terhadap keluarga Soeharto dan kroninya yang terlibat kasus KKN serta pelanggaran HAM.
- Mendorong Jaksa Agung melanjutkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu hingga ke tahap penyidikan.
- Meminta pemerintah dan DPR berhenti menerbitkan kebijakan yang mengkhianati amanat reformasi serta melemahkan demokrasi dan negara hukum.
“Pahlawan sejati bukan yang berkuasa dengan kekerasan dan menindas rakyatnya. Pahlawan sejati adalah mereka yang berani melawan ketidakadilan,” pungkas Tomy. (Ar/CB.1)



