Tabanan – Ketua DPRD Kabupaten Tabanan I Nyoman Arnawa menyayangkan lemahnya sistem pengawasan Pemkab Tabanan terkait maraknya pelanggaran pembangunan usaha di kawasan Jatiluwih yang merupakan warisan budaya dunia UNESCO.
Dalam sidak yang dilakukan Komisi DPRD Tabanan beberapa waktu lalu, ditemukan sedikitnya 13 bangunan usaha berdiri di atas lahan sawah dilindungi (LSD). Bahkan, sebuah restoran yang sudah rampung 70 persen diketahui melanggar garis sempadan jalan.
“Dalam kasus pelanggaran LSD ini, kami di dewan menilai pemerintah terkesan lamban bertindak. Padahal sejumlah bangunan sudah berdiri meski jelas melanggar aturan. Selain di Jatiluwih, kami juga menemukan pelanggaran serupa di kawasan Tanah Lot,” ungkap Arnawa, Rabu (20/8).
Menurutnya, pemerintah daerah harus memiliki strategi jelas dalam menyikapi rencana pembangunan masyarakat di kawasan tertentu, termasuk LSD di Jatiluwih. Sosialisasi aturan hingga ke tingkat camat dan perbekel juga dinilai penting agar tidak menimbulkan gesekan dengan masyarakat.
“Kalau bangunan yang sudah ada kita paksa bongkar, itu salah. Tapi kalau tidak dibongkar, juga melanggar aturan. Maka pemerintah harus tegas sekaligus memberikan edukasi sejak awal,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekda Tabanan I Gede Susila menekankan bahwa penindakan terhadap bangunan bermasalah harus sesuai prosedur. Menurutnya, pembongkaran tidak bisa dilakukan langsung tanpa melalui tahapan administratif.
“Prosesnya harus melalui pemberian surat peringatan (SP) 1 dan SP 2 seperti yang sudah kami lakukan. Kalau pemilik mau bongkar sendiri, itu lebih baik,” jelas Susila.
Ia menambahkan, tindak lanjut atas pemberian SP 2 saat ini masih berproses. Pemkab juga akan menggandeng pekaseh, perbekel, hingga badan pengelola untuk mempercepat pelaporan apabila ada pelanggaran baru.
“Kami harap pemilik usaha yang terbukti melanggar bersedia melakukan pembongkaran secara mandiri. Saat ini, pembangunan baru sudah tidak ada lagi,” pungkasnya. (Pan/CB.2)