Budaya
Beranda » Guru Besar Pertama Prodi Sastra Jepang di Bali, Prof Gung Dian Lakukan Kajian Sosiopragmatik Budaya Indonesia – Jepang

Guru Besar Pertama Prodi Sastra Jepang di Bali, Prof Gung Dian Lakukan Kajian Sosiopragmatik Budaya Indonesia – Jepang

Prof. Dr. Anak Agung Ayu Dian Andriyani, S.S., M.Hum setelah pengukuhan Guru Besar di Auditorium Saraswati lantai 3 Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar. (ist)

Denpasar – Suasana Auditorium Saraswati lantai 3 Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar terasa hangat pada Jumat (24/10) pagi. Di antara tepuk tangan sivitas akademika, nama Prof. Dr. Anak Agung Ayu Dian Andriyani, S.S., M.Hum., bergema. Dikenal dengan sapaan Prof Gung Dian, ia resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Bidang Sosiopragmatik, sekaligus menjadi guru besar pertama di Program Studi Sastra Jepang di Bali pada Fakultas Bahasa Asing Unmas Denpasar.

Selain Prof Gung Dian, Universitas Mahasaraswati (Unmas) juga mengukuhkan tiga Guru Besar Tetap lain, yakni Prof. Dr. Ni Wayan Rustiarini,S.E.,M. Si.,AK.,CA., Prof. Dr. Ir. I Made Tamba,M.P., dan Prof. Dr. drg. Mochammad Taha Ma’ruf,M. Erg.,CMC..

Pengukuhan empat Empat Guru Besar Tetap Universitas Mahasaraswati (Unmas), di Auditorium Saraswati lantai 3 Kampus Universitas Mahasaraswati Denpasar. (ist)

Hadir dalam acara ini Rektor Universitas Mahasaraswati, Prof. Dr. I Ketut Sukewati Lanang Putra Perbawa, S.H., M.Hum. Ketua Pengurus Yayasan P.R Saraswati Pusat Denpasar, Ibu Tjok. Istri Sri Ramaswati, S.H., M.M,. Guru Besar Unmas, Ida Cokorda Mengwi XIII, Penglingsir Puri Denpasar, dan undangan terkait lainnya.

Bagi Gung Dian, hari itu bukan sekadar puncak karier akademik. Ia menyebutnya “hari penuh syukur,” buah dari perjalanan panjang antara penelitian, mengajar, dan pengabdian. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga, rekan sejawat, dan mahasiswa yang menjadi bagian dari perjalanan ilmunya.

“Perjuangan ini tidak mudah. Ada banyak malam tanpa tidur, ada jarak yang harus ditempuh antara rumah dan ruang riset, tapi semua itu terbayar dengan rasa bahagia bisa berdiri di sini hari ini,” ujarnya haru.

Kecelakaan di Jalan Tukad Balian, Pengendara Motor Tewas di Tempat

Dalam pengukuhannya, Prof Gung Dian membacakan orasi ilmiah berjudul “Strategi Kesantunan Berbahasa dalam Upaya Membangun Relasi Lintas Budaya Indonesia – Jepang: Sebuah Kajian Sosiopragmatik.” Tema itu mencerminkan kecintaannya pada bahasa sebagai jembatan yang menyatukan dua budaya besar.

Melalui kajian sosiopragmatik, ilmu yang menelaah hubungan antara bentuk bahasa dan konteks sosial, ia menunjukkan bagaimana kesantunan berbahasa mampu menciptakan harmoni antara dua bangsa.

“Kesantunan bukan hanya tata krama. Ia adalah energi yang membangun harmoni. Bahasa yang santun membuka hati, menciptakan kenyamanan, dan meneguhkan identitas kita sebagai bangsa yang berbudaya,” tutur Prof Gung Dian dalam orasinya.

Ia mencontohkan, sapaan sederhana seperti “Shachou” (bos) dalam konteks Jepang bisa berujung salah paham bila digunakan tanpa memahami norma sosialnya.

“Dalam budaya Jepang, panggilan itu hanya untuk atasan di perusahaan. Jadi, ketika wisatawan Jepang dipanggil demikian oleh pramuwisata, niatnya memuliakan justru bisa dianggap mengganggu,” jelasnya.

Kapal Kandas di Perairan Gilimanuk, Seluruh Awak Berhasil Dievakuasi

Dari situ, Prof Gung Dian menekankan pentingnya pemahaman strategi kesantunan berbahasa seperti yang digagas Brown dan Levinson: strategi langsung (bald on record), positif, negatif, dan tidak langsung (off record). Keempatnya, katanya, dapat menjadi panduan praktis dalam dunia pariwisata Bali yang sarat interaksi lintas budaya.

“Bahasa adalah wajah bangsa. Dalam pariwisata, bahasa yang santun bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bentuk penghormatan pada tamu dan budaya sendiri,” katanya tegas.

Perjalanan akademik Prof Gung Dian bermula dari kecintaannya pada bahasa Jepang sejak muda. Setelah menempuh studi di Universitas Padjadjaran dan Universitas Udayana, ia melanjutkan doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dengan fokus pada sosiopragmatik.

Pengalaman bekerja di industri pariwisata Jepang di Bali memperkaya penelitiannya. Ia melihat langsung bagaimana perbedaan gaya komunikasi dapat menciptakan kesalahpahaman antara wisatawan dan pelaku pariwisata lokal. Dari sanalah ide orasi ilmiahnya lahir: menjadikan kesantunan berbahasa sebagai sarana membangun relasi lintas budaya yang harmonis.

Penelitiannya pun berkembang menjadi model pembelajaran bahasa Jepang untuk pelaku industri pariwisata, publikasi ilmiah internasional, dan pendampingan bagi kelompok sadar wisata di Bali.

Dari Lompatan Skateboard, Aksi Sepeda, hingga Mural yang Hidupkan Kota Tabanan

“Saya ingin ilmu ini tidak hanya berhenti di ruang kuliah, tapi hidup di lapangan, di hotel, di restoran, di tempat wisata, di mana komunikasi menjadi jantung pelayanan,” ujarnya tersenyum.

Bagi Prof Gung Dian, sosiopragmatik bukan sekadar teori linguistik, melainkan lensa untuk melihat dunia. Ia percaya, memahami konteks budaya dalam bertutur adalah kunci menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan berempati.

Dalam orasinya, ia juga mengajak generasi muda untuk menjadikan kesantunan sebagai “bahasa universal keramahan.”

“Kita mungkin berbicara dalam bahasa yang berbeda, tapi kesantunan bisa menyatukan kita. Ia melampaui kata, menembus batas, dan menyatukan manusia dalam harmoni,” katanya menutup dengan senyum.

Rektor Unmas Denpasar, Prof. Dr. I Ketut Sukewati Lanang Putra Perbawa, menyebut Prof Gung Dian sebagai sosok yang merepresentasikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi secara nyata.

“Guru besar bukan hanya gelar, tetapi tanggung jawab untuk memberi inspirasi dan kontribusi bagi bangsa. Prof Gung Dian menunjukkan bahwa bahasa bisa menjadi alat diplomasi dan kemanusiaan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Saraswati, Tjok Istri Sri Ramasaraswati, menambahkan, Keberhasilan Prof Gung Dian adalah kebanggaan pihak yayasan. “Semoga semangatnya menjadi teladan bagi dosen-dosen muda Unmas,” ujarnya.

Kini, di tengah tumpukan buku dan naskah penelitian yang mengisi ruang kerjanya, Prof Gung Dian tetap rendah hati. Ia percaya, menjadi guru besar bukanlah garis akhir, melainkan awal babak baru untuk terus berkarya dan memberi manfaat.

“Bagi saya, ilmu itu seperti bahasa. Semakin dibagikan, semakin hidup,” ucapnya. (Ar/CB.1)

Bagikan