Tabanan – Gejolak di Subak Jatiluwih masih berlanjut. Suara keresahan petani dan warga kian kencang setelah penutupan sejumlah akomodasi wisata oleh Pansus TRAP DPRD Bali dan Satpol PP Bali menyulut gelombang protes baru. Pada Jumat, (5/12) puluhan warga memasang seng di Tempek Telabah Gede dan Tempek Muntig. Bukan hanya satu dua, tetapi tiga puluh lembar langsung menutup pandangan mata wisatawan.
“Besok kami pasang lagi. Titiknya sedang kami bahas,” kata I Wayan Subadra pada Jumat, (5/12).
Subadra menyebut aksi ini bukan sekadar simbol penolakan, tetapi alarm keras agar pemerintah turun tangan. “Ini bukan untuk bikin ricuh. Kami hanya ingin pemerintah datang, dengar suara kami, dan cari solusi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa warga sudah kehabisan kesabaran karena tidak ada komunikasi terbuka sejak penutupan dilakukan.
Sekitar tiga puluh petani dari Subak Muntig ikut menyokong aksi tersebut. Bahkan sebagian seng berasal dari sumbangan warga yang memiliki usaha restoran. Pagar plastik sepanjang empat puluh meter juga telah dibentang di jalur subak, menegaskan bahwa aksi ini bukan spontanitas, tetapi gerakan yang terkoordinasi. “Kalau tidak ada respons, tentu kami lanjutkan lagi. Kami ingin aturan yang adil, bukan yang menghukum petani kecil,” tambah Subadra.
Di sisi lain, petani I Nengah Sridana mengaku aksi ini menyuarakan keresahan yang selama ini dipendam. Ia memiliki lahan delapan puluh are yang juga terkena imbas penataan. “Kontribusi riil belum pernah ada. Kami hidup dari lahan ini. Jangan matikan kami,” katanya. Ia menegaskan bahwa gubuk kecil yang digunakan petani untuk berteduh atau berjualan tidak semestinya diperlakukan seperti bangunan bermasalah. “Yang gubuk kecil itu jangan dilarang. Itu tempat kami berteduh dan cari nafkah,” ujarnya.
Dampak aksi seng langsung merembet ke sektor pariwisata. Telepon kantor DTW Jatiluwih tak berhenti berdering. Travel agent membatalkan kunjungan satu per-satu. Lebih dari sepuluh pembatalan terjadi dalam sehari, semuanya takut mengantar tamu ke lokasi yang mereka kira sedang terjadi demonstrasi besar. Manager DTW Jatiluwih, I Ketut Purna alias John, mengaku terkejut dengan cepatnya dampak aksi ini. “Sudah lebih dari sepuluh travel batal. Mereka bilang takut ada demo. Ini sudah pukul citra Jatiluwih,” ungkapnya.
John menegaskan bahwa persoalan seng bukan berada di tangan manajemen operasional. “Kami hanya ingin wisatawan senang dan aman. Soal seng, itu ranah Badan Pengelola,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa kondisi ini tidak boleh berlarut karena Jatiluwih adalah warisan dunia yang reputasinya harus dijaga. “Jangan sampai ini merusak nama Jatiluwih di mata dunia,” ujarnya.
John juga membeberkan fakta penting mengenai gubuk. Ia menegaskan bahwa bangunan sederhana 3 x 6 meter sudah lama diperbolehkan sejak zaman Bupati Ni Putu Eka Wiryastuti. “Kalau untuk berteduh dan menyimpan alat, itu jelas boleh. Bahkan kalau dipakai jualan pun masih bisa, asal bentuknya tetap gubuk, bukan jadi permanen,” katanya. Ia kemudian memberi peringatan keras. “Kalau sampai banyak bangunan permanen berdiri, status UNESCO bisa terancam. Kita tidak mau itu terjadi. Ini untuk anak cucu kita,” tegasnya.
Di tengah polemik, John mengungkap dukungan besar yang selama ini diberikan manajemen kepada petani. Dari bibit gratis, pupuk urea, dana upacara hingga kontribusi rutin untuk tujuh tempek di Jatiluwih. Mulai Desember 2025, bantuan olah lahan senilai dua setengah juta rupiah per hektare juga siap digelontorkan. “Kami bukan hanya menuntut, kami ikut membantu. Tapi masalah ini harus segera diselesaikan,” ujarnya. (Ar/CB.1)



