Buleleng – Masyarakat Desa Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Buleleng memiliki tradisi unik bernama “Meboros,” sebuah perburuan kijang yang menjadi bagian penting dari upacara di Pura Puseh Desa. Tradisi ini berawal sekitar tahun 1.500-an, sebagai wujud syukur atas keberhasilan pembangunan Pura Puseh yang diprakarsai oleh kedatangan Gusti Patih Cili Ularan dari Suweca Pura.
Tradisi Meboros, yaitu perburuan kijang yang dilakukan oleh masyarakat pria Desa Busungbiu sebagai bagian dari rangkaian upacara di Pura Puseh. Tradisi ini dilaksanakan setiap rahina purnamaning kapat dalam penanggalan Bali, yang diperkirakan dimulai sekitar tahun 1500 saat piodalan pertama Pura Puseh.
Perburuan dilakukan di sekitar hutan Pangkung Biu, daerah Desa Pucak Sari , yang disucikan sebagai tempat berburu. Rangkaian persiapan dan musyawarah dilakukan di Pura Puseh Desa Busungbiu.
Menurut Kadek Agum, 23 tahun seorang pemuda dari Desa Adat Busungbiu mengatakan, Tradisi ini melibatkan seluruh masyarakat Desa Busungbiu, khususnya kaum pria yang bertugas melakukan perburuan.
“Para pimpinan desa, keturunan prajurit Gusti Patih Cili Ularan (“Tegak Nem Dasa Nem”), dan tokoh agama (pemangku) memegang peranan penting dalam persiapan dan pelaksanaan,” ujarnya pada Rabu, (2/5).
Awal mula tradisi ini adalah untuk mendapatkan kijang sebagai sarana upacara piodalan pertama Pura Puseh. Seiring waktu, tradisi ini menjadi penanda peringatan berdirinya Pura Puseh dan dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya serta kelancaran pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di desa. Simbol-simbol dalam sesajen seperti layang-layang (keseimbangan), gangsing (tujuan pasti), dan kelereng (kebulatan tekad) juga memiliki makna mendalam terkait pelaksanaan Meboros.
Pelaksanaan tradisi Meboros diawali dengan “Sangkepan Tegak Nem,” musyawarah antara pimpinan desa dan keturunan prajurit di Bale Lantang Pura Puseh untuk menentukan waktu pelaksanaan. Sehari sebelum perburuan, dilaksanakan upacara “Ngajit” atau “Ngancuk Bintang” pada tengah malam untuk memohon restu leluhur.
Pada hari pelaksanaan, kaum pria berkumpul di Pura Puseh untuk bersembahyang sebelum berangkat berburu, sementara pemangku memohon restu di Pura Puseh Angsa. Dalam upacara juga terdapat tarian yang diyakini memberikan petunjuk terkait perburuan. Sesajen yang digunakan unik karena selain buah dan bunga, juga menyertakan layang-layang, gangsing, dan kelereng sebagai simbol.
Menurut Kadek Virgoza Ogetzu, seorang pemuda dari desa adat busungbiu mengatakan, tradisi Meboros ini bukan hanya sekadar berburu, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah dan spiritualitas desanya.
“Ini adalah cara kami mengenang leluhur, menjaga kebersamaan, dan memastikan upacara di Pura Puseh dapat berjalan dengan baik. Kami berharap tradisi ini akan terus lestari hingga generasi mendatang,” ujarnya. (*)
Penulis: Putu Odiana Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan, Singaraja.