Tabanan – Di tengah mengalirnya udara musim panen yang membawa harapan, hamparan sawah di Subak Aseman, Desa Tangguntiti, Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, kembali menguning. Pekaseh Subak Aseman IV, I Wayan Suka Artama, 56 tahun menatap ladang seluas 127 hektar itu dengan harapan yang tak pernah padam.
Di balik setiap bulir padi yang dipanen, tersimpan cerita perjuangan dan semangat kebertahanan petani Bali, yang tetap berakar kuat di tanah lumbung pangannya.
Varietas padi Inpari Nutri Zinc menjadi andalan para petani Subak Aseman. Inpari Nutri Zinc adalah varietas padi sawah yang dikembangkan untuk mengatasi kekurangan zat besi (zinc) pada beras. Varietas ini mengandung unsur Zn lebih tinggi dibandingkan varietas padi sawah lainnya, dan bertujuan untuk mengatasi masalah stunting pada anak-anak.
Selain itu, juga digelar perayaan panen raya yang dihadiri khusus oleh Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, S.E., M.M., dengan luas demplot percontohan sekitar 30 are, panen raya ini diharapkan tidak hanya menjadi pesta syukur, namun juga langkah nyata dalam mendukung program ketahanan pangan nasional.
“Kami berharap ke depan masih bisa terus memelihara sawah ini, tetapi tantangan utamanya adalah air,” ujar Suka Artama pada Rabu, (7/5)
Ketersediaan air menjadi isu krusial, apalagi dengan jaringan irigasi yang membutuhkan perhatian dari saluran primer hingga tersier. Meski sudah ada bantuan sumur bor dari TNI di tiga titik, namun belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan air untuk tanam.
Pemkab Tabanan sebenarnya sudah mengajukan 303 titik perbaikan saluran irigasi ke pemerintah pusat pada 2024. Dari jumlah itu telah mencakup di Subak Aseman IV. “Kami pemerintah daerah sudah mengajukan hal itu,” tegas kepala Dinas Pertanian Tabanan I Made Subagia di sela-sela acara panen padi di Subak Aseman IV, Rabu, (7/5).
Di wilayah Selemadeg Timur yang memiliki total lahan sawah seluas 2.049 hektar, petani hanya mampu melakukan dua kali tanam dalam setahun, biasanya padi dan jagung. Subak Aseman IV tak hanya hidup dari sisi agrarisnya, tetapi juga kultural. Melalui karya Pengenteg Linggih yang dipersembahkan di Pura Kahyangan Bedugul, subak ini menunjukkan bahwa pertanian di Bali bukan sekadar urusan perut, tapi juga roh dan tradisi.
“Kami berharap ada bantuan dari pemerintah terkait dengan karya. Bapak Bupati menyebutkan akan siap membantu pelaksanaan karya pada 2026,” ujar Suka Artama.
Terdapat 26 subak di Kecamatan Selemadeg Timur, dan Subak Aseman IV dihuni oleh 221 kepala keluarga yang tersebar di tiga tempek. Tapi bayang-bayang masa depan tak selamanya cerah. “Sebagian besar petani sekarang sudah lanjut usia. Sekitar 65 persen berusia di atas 50 tahun. Yang di bawah 40 tahun bisa dihitung jari,” keluhnya.
Anak-anak muda lebih tertarik pada pekerjaan lain, sementara profesi petani hanya menjadi “uleh-ulehan terakhir” (pilihan jika tak ada yang lain). Fluktuasi harga gabah membuat para petani milenial enggan menekuni profesi ini. Alih fungsi lahan pun mulai terjadi, dari sawah menjadi akomodasi wisata dan peternakan. Sudah ada villa dan kandang modern berdiri di atas tanah subak seluas satu hektar. Meski begitu, harapan tetap ada.
“Kami butuh pelatihan untuk petani muda. Supaya mereka bisa melihat bahwa bertani itu menjanjikan, asal didampingi dan diberi peluang. Apalagi ada program dari Bulog yang membeli padi petani dengan harga sesuai HPP, yakni Rp 6.500 per kilogram,” ujar Suka Artama.
Di balik cerita panen, Subak Aseman menyuarakan sesuatu yang lebih dari sekadar hasil tani, yakni tentang mempertahankan jati diri, budaya, dan masa depan pangan Bali. (Ar/CB.1)