Apakah salah jika wartawan menenteng nasi bungkus? Apakah hal seperti ini layak diberitakan?
Tabanan – Pertanyaan ini beberapa kali muncul di benak saya. Hingga akhirnya saya menuliskan hal ini. Bukannya tanpa sebab, obrolan soal wartawan menenteng nasi bungkus muncul ketika saya ngopi-ngopi bersama dengan teman wartawan beberapa waktu lalu.
Awalnya saya cukup penasaran kenapa ada berita yang memuat judul wartawan menenteng nasi bungkus.
Judul lengkapnya begini: Sambil Nenteng Nasi Bungkus, Oknum Wartawan Nyalinya Ciut Saat Di Tegur Seorang Wanita.
Apa pentingnya bagi publik untuk mengetahui hal ini?
Jika, si wartawan menenteng bom, hal ini patut dipersoalkan dan dibuatkan berita. Petugas kepolisian harus menangkap dan mencari tahu motif si wartawan membawa bahan peledak.
Kalau cuman nasi bungkus, ditegur perempuan pula,,,, aduuuuh!
Mirisnya lagi, wartawan memberitakan wartawan? Bukannya wartawan harus menjadi kontrol sosial. Misalnya mengungkap persekongkolan jahat pejabat yang merugikan masyarakat, penyelewengan anggaran negara, atau membongkar jaringan teroris. Karena inilah jurnalistik dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi.
Setelah teman bercerita panjang lebar, akhirnya saya menemukan benang merah sehingga berita wartawan menenteng nasi bungkus bisa muncul.
Ya, tapi saya sama sekali tidak tertarik untuk menceritakan hal itu. Karena bagi saya itu persoalan lain.
Persoalan yang cukup mengganggu saya adalah kenapa berita wartawan yang menenteng nasi bungkus bisa muncul. Setelah saya cek di Google, ada beberapa situs berita yang memuat ini.
Apakah berita wartawan yang menenteng nasi bungkus memenuhi standar kerja jurnalistik?
Karena begini, saya sebelumnya pernah melakukan penelitian tesis terkait dengan jurnalistik. Judulnya Perspektif Pekerja Pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar Tentang Sembilan Elemen Jurnalistik Bill Kovach Dan Tom Rosenstiel.
https://www.researchgate.net/publication/375527517_PERSPEKTIF_PEKERJA_PERS_ALIANSI_JURNALIS_INDEPENDEN_AJI_DENPASAR_TENTANG_SEMBILAN_ELEMEN_JURNALISTIK_BILL_KOVACH_DAN_TOM_ROSENSTIEL . Oh ya, ini link untuk akses jurnalnya.
Kenapa perspektif? Karena perspektif adalah sudut pandang atau cara kita memandang suatu hal, yang dibentuk oleh pengalaman, keyakinan, dan nilai-nilai. Sementara persepsi adalah cara kita menafsirkan informasi yang kita terima melalui panca indera.
Apa perspektif jurnalistik dari berita wartawan menenteng nasi bungkus?
Begini, pada buku Bill Kovach Dan Tom Rosenstiel Sembilan Elemen Jurnalisme apa yang seharusnya diketahui wartawan dan diharapkan publik menyebutkan, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada publik.
Artinya, setiap produk jurnalistik yang dihasilkan harus mengutamakan kepentingan masyarakat. Kesetiaan terhadap publik atau masyarakat ini adalah makna dari apa yang disebut sebagai Independensi Jurnalistik.
Kembali ke pertanyaan tadi, apa pentingnya wartawan menenteng nasi bungkus untuk menjadi berita yang harus diketahui oleh publik?
Ok, saya masih berprasangka baik, berita ini bukan produk jurnalistik. Tapi, berita berbayar atau advetorial. Lantas, siapa yang memesan dan membayar berita wartawan menenteng nasi bungkus?
Kenapa wartawan atau jurnalis harus bekerja untuk publik atau masyarakat? Jawaban sederhananya karena produk jurnalistik atau berita bisa mempengaruhi banyak orang, bahkan kebijakan penguasa.
Sehingga produk jurnalistik atau berita, penting untuk dibuat dengan detail dan sebisa mungkin sesuai dengan fakta. Selain itu, berita harus bisa dipertanggung jawabkan oleh wartawan dan media tempat laporan itu diterbitkan.
Inilah salah satu hal yang menjadi pembeda media jurnalistik dengan media sosial atau homeless media.
Pemahaman jurnalis bekerja untuk kepentingan publik tidak muncul begitu saja.
Mengutip dari buku Bill Kovach Dan Tom Rosenstiel Sembilan Elemen Jurnalisme apa yang seharusnya diketahui wartawan dan diharapkan publik. Dijelaskan, kesadaran kerja jurnalistik untuk publik muncul pada penghujung abad ke-19 sebagai reaksi terhadap para pemilik surat kabar yang mengganti independensi editorial dengan ideologi politik.
Deklarasi paling terkenal tentang independensi intelektual ini muncul pada 1896. Saat seorang penerbit muda dari Tennessee, Amerika Serikat bernama Adolph Ochs membeli harian New York Times yang sedang berada dalam kesulitan.
Ochs yakin, banyak warga kota New York lelah dengan sensasionalisme murahan atau jurnalisme kuning yang diusung William Randolph Hearst dan Joseph Pulitzer. Sehingga gaya jurnalisme yang lebih bermutu dan akurat akan diminati pembaca.
Di hari pertamanya, pada bawah kepala berita yang berjudul “Pengumuman Bisnis,” Ochs menulis kalimat yang kelak menjadi peninggalannya dan dikenang banyak orang.
Ochs menulis, bahwa ia “to give the news impartiality without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved (memberikan berita yang tak berpihak, tanpa ketakutan atau miring sebelah, tanpa memandang partai, sekte, atau kepentingan lain yang terlibat).”
Ketika New York Times menjadi koran paling berpengaruh di New York dan kemudian di dunia, yang lain mengikuti model Ochs.
Kalah Dua Langkah
Ketika kita membicarakan kondisi industri media hari-hari ini, rasa memang menyedihkan. Media bersaing ketat dengan media sosial.
Bahkan bagi saya, media mainstream (jurnalistik) sudah dua langkah di belakang media sosial. Ini sola jangkauan audiens atau kecepatan arus informasi.
Saat ini banyak pula, wartawan yang bekerja secara mandiri, merintis media sendiri. Ini adalah upaya alternatif bertahan di tengah arus industri media yang makin tidak pasti. Namun, prinsip dan kode etik jurnalistik tidak boleh diperkosa hingga dikorbankan.
Persoalan independensi dan “dompet yang belum terisi” memang menjadi permasalahan pelik.
Tapi, saya yakin seorang jurnalis atau wartawan akan bisa memilih jalan tengah, sehingga keduanya bisa tetap berjalan dan tidak saling langgar hingga fatal.
Jika ada yang mengaku jurnalis atau wartawan. Tapi, tidak mengerti bahwa kerja-kerja jurnalistik harus mengutamakan kepentingan publik. Patut diduga mereka adalah wartawan abal-abal yang membuat “sakit kepala” alias wartawan bodrex.
Penulis: I Made Argawa