“Gemah ripah alamnya harmonis
Begitu tertulis di brosur pariwisata
Ibu Darmi kembali meringis
Keluarga harmonis perlu tangisan Bu Darmi”
Oh ya, ini adalah potongan lirik lagu dari band folk Nosstress judulnya Bu Darmi. Waktu ini, saya iseng kembali melihat video klip lagu ini di kanal YouTube milik Nosstress. Saya terkejut karena terakhir kali saya mendengarkan lagu ini dan sempat mengunggah pesan di halaman komentar. Itu sudah tiga tahun yang lalu.
Emmmm,, sudah lama ya. Cukup lama banget bagi saya.
Tapi, saya mungkin juga kalian merasakan hal yang disampaikan lagu ini sesuai dengan kenyataan di Bali hari ini. Terutama orang Bali yang beragama Hindu.
Mungkin juga ini yang menjadikan lagu Bu Darmi terasa begitu dekat. Meski, lagunya sudah berusia tiga tahun lebih sejak diunggah di kanal YouTube.
Saya nilai lirik lagu ini sederhana. Ceritanya dari kesulitan seorang ibu rumah tangga bernama Bu Darmi.
Mungkin, bukan mungkin lagi sich. Itu sudah pasti, ibu-ibu di Bali mengalami apa yang dirasakan oleh Bu Darmi.
Media sosial sempat ramai dengan pembicaraan soal mahalnya harga buah kelapa yang digunakan untuk upacara ritual. Dari harga biasanya yang tidak lebih dari Rp 5 ribu per-butir, menjelang rerainan Purnama Kadasa pada 12 April 2025 harganya mencapai angka Rp 15 ribu-an.
Belum lagi soal persiapan hari Raya Galungan yang tiba sekitar sepekan setelahnya. Harga janur, peralatan upacara lain hingga daging babi akan mengalami kenaikan signifikan.
Ini sesuai dengan lagu Bu Darmi, Nosstress.
Selain itu, belakangan muncul kabar soal berkurangnya wisatawan yang menginap di hotel. Mereka, para turis lebih memilih menginap di kamar kost atau villa yang dikatakan “illegal”.
Saya pernah melihat postingan, lebih tepatnya keluhan soal hal ini di media sosial yang menyebutkan kondisi Bali tidak bisa seperti itu.
Karena pariwisata Bali adalah motor penggerak ekonomi. Ekonomi yang menjalankan “roda-roda” kegiatan ritual di Pulau Dewata. “Upacara abadi di Bali” secara langsung digerakkan oleh pariwisata. Serta terjadi timbal balik di antaranya.
“Agar pulau seribu Pura Tak menjadi seribu pura-pura”
Lagu Bu Darmi juga menyinggung soal judi sabung ayam atau tajen. Entah kebetulan atau seperti apa, sepintas saya lihat trend di media sosial banyak yang mengunggah konten sedang berada di arena tejen.
Bahkan pelakunya, bukan hanya orang Bali atau lokal. Bule hingga keturunan bule juga ikut ambil bagian. Pokoknya gampang. Aluh san
Soal tajen saya tidak bisa bahas banyak. Karena tidak ngerti soal tajen dan tidak pernah bermain tajen. Apakah itu sudah diperbolehkan atau bagaimana? Sing be ngerti
“Terlintas di benak Bu Darmi
Tuk tinggalkan semua ini
Tapi jadi janda atau mati
Bisa jadi, lebih seram dari ini”
Dari potongan lirik lagu di atas saya memiliki tafsir, jika Bu Darmi memiliki pikiran untuk bunuh diri. Tapi, pemikiran Bu Darmi itu sudah diwujudkan oleh banyak orang di Bali.
Salah satu kasus bunuh diri yang membuat gempar adalah seorang perempuan berusia 21 tahun nekat loncat dari Jembatan Tukad Bangkung, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Badung pada Kamis 3 April 2025.
Diduga, korban terlilit utang pinjaman online. Sehingga ia menceburkan diri dari jembatan setinggi 71 meter. Karena kejadian bunuh diri terjadi beberapa kali di sana, pemerintah daerah sampai memasang kawat pengaman di sisi jembatan. Ditambah dengan kamera pengawas. Agar hal serupa tidak terulang.
Informasi yang saya kutip dari CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20240702092451-255-1116545/tingkat-bunuh-diri-di-bali-paling-tinggi-se-indonesia-apa-sebabnya
Data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri menyebut laporan kasus bunuh diri di Bali sepanjang 2023 angkanya mencapai 3,07. Suicide rate atau tingkat bunuh diri dihitung berdasarkan jumlah kasus bunuh diri dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Angka tersebut jauh melampaui provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati peringkat kedua jumlah tingkat kasus bunuh diri, dengan angka suicide rate sebesar 1,58.
Sementara di peringkat ketiga di tempati Provinsi Bengkulu dengan angka suicide rate sebesar 1,53. Disusul Aceh yang menempati posisi buncit dari seluruh provinsi di Indonesia, angka suicide rate-nya hanya 0,02.
Berdasarkan data Pusiknas Polri, pada 2023 ada 135 kasus bunuh diri di Bali yang dilaporkan. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berkisar 4,3 juta jiwa, angka tersebut tergolong tinggi.
Dokter spesialis kejiwaan atau psikiater RSUP Prof Ngoerah, Anak Ayu Sri Wahyuni membeberkan penyebab tingkat bunuh diri di Bali paling tinggi di Indonesia. Dua penyebabnya, kata dia, yaitu meliputi faktor biologis dan psikososial.
Oh,,, Bu Darmi.
Saya secara pribadi tidak terkejut dengan laporan CNN Indonesia yang juga diterbitkan oleh beberapa media lain itu. Bukan kebetulan, ibu saya juga mengalami tanda-tanda tersebut. Entah seperi apa sejarahnya, cuman belakangan tanda-tanda gangguan terhadap emosional hingga psikologis terlihat jelas.
Saya berani menyatakan ini, karena beberapa faktor eksternal sudah saya hilangkan.
Memang menjadi perempuan Bali, diperlukan kemampuan ekstra untuk mengelola stres. Mulai dari kehidupan pribadi, sosial, ritual hingga tuntutan ekonomi hadir sekaligus.
Tapi, beruntungnya saya. Lebih tepatnya cerdas dalam memilih pasangan hidup. Istri saya hingga sekarang ini, tampaknya bisa mengelola hal itu. Meski, keluhan selalu ada. Saya hanya berusaha memberikan dukungan moral atau rasional.
Tanpa Klimaks
Saya tidak habis pikir, apakah setiap malam sebelum tidur Bu Darmi dan Pak Darma sempat mengobrol. Berbicara terkait masalah keuangan, soal menyama braya atau soal ayah-ayahan (kerja sosial) di banjar.
Jika iya, harusnya beban psikologis Bu Darmi bisa lebih terurai sehingga tidak terlalu membelenggu. Jika tidak, saya juga tidak tahu apa yang mereka lakukan menjelang tidur.
Karena pengalaman saya selama berumahtangga, momen malam hari sebelum tidur menjadi cukup penting antara suami dan istri.
Selain urusan birahi, saling berbicara terkait persoalan rumah tangga, pekerjaan atau gosip tipis-tipis soal tetangga bisa mengurangi beban mental masing-masing.
Termasuk soal kegiatan upacara ritual. Jika Bu Darmi dan Pak Darma sempat membicarakan hal itu, pasti Bu Darmi tidak akan kesulitan. “Uangnya sedikit tapi harus dapat banyak. Terpaksa berhutang walau malu sudah menumpuk”. Itu pasti tidak akan terjadi.
Jika uangnya sedikit, harusnya perlengkapan upakara bisa disesuaikan dengan budget dong! Kok, pergi ke tajen. Padahal anak dan istri sedang kekurangan uang. Mungkin, tujuannya untuk menambah uang. Tapi agak konyol ketika “Bapak Darma mempercayakan nasib pada seekor ayam. Uangnya sedikit tapi pengen cepat banyak. Tak menambah uang Pak Darma menambah hutang”.
Ujung-ujungnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Bagi saya, ketika ada komunikasi intens antara Bu Darmi dan Pak Darma hal ini akan bisa dihindari. Ketika Pak Darma akan pergi ke tajen, Bu Darmi bisa mencegah.
Pak Darma yang dicegah untuk pergi ke tajen, juga jangan marah. Harusnya bersabar karena keuangan keluarga sedang morat-marit.
Clifford James Geertz atau Clifford Geertz antropolog asal Amerika sudah memotret situasi seperti yang dialami oleh Bu Darmi dan Pak Darma. Ia bersama istrinya pernah melakukan penelitian di Bali sekitar tahun 70-an. Penelitian itu dituangkan dalam buku dengan judul Tafsir Kebudayaan atau The Interpretation of Cultures dan diterbitkan pada tahun 1973.
Geertz menilai tingkah laku sosial orang Bali tidak adanya klimaks. Ia menyebut, pertengkaran-pertengkaran muncul dan menghilang, terkadang malah terus berlangsung, tetapi diperlemah dan diperlunak dengan harapan bahwa hanya perkembangan keadaan – keadaan secara perlahan-lahan akan mengakhiri pertengkaran-pertengkaran itu, atau masih lebih baik lagi, bahwa pertengkaran-pertengkaran itu akan menguap begitu saja.
Mungkin, untuk menghidari konflik dan pertengkaran Bu Darmi memilih untuk diam dengan situasi yang dialaminya. Sehingga mengalami beban mental yang berkepanjangan.
Lantas pada siapa kita harus berharap? Pemerintah,,, saya rasa persoalan yang dialami Bu Darmi dan Pak Darma sangat mendasar di Bali. Kita sudah menganggapnya biasa.
“Kisah sedih yang jadi biasa
Karena kita menutup mata”
*Kalimat cetak miring dengan tanda kutip adalah potongan lirik lagu Bu Darmi dari Nosstress.
Penulis: I Made Argawa
Tulisan ini juga ditayangkan di:
https://balebengong.id/bali-kini-bunuh-diri-hingga-mahalnya-harga-buah-kelapa/