Pada 6 Oktober 2025 atau bertepatan pada Purnama Kelima pada kalender Bali, sosok politisi kawakan asal Kecamatan Marga kembali ke DPRD Tabanan. I Wayan Sukaja akan menjalani proses Pergantian Antar Waktu (PAW) dari almarhum I Wayan Gindera.
Kembali menduduki kursi dewan bagi politisi asal Desa Marga Dajan Puri, Kecamatan Marga bukan tanpa perjalanan panjang.
Sempat merasakan kursi Ketua DPRD Tabanan pada 2004 hingga 2009, Sukaja lantas nyalon sebagai bupati Tabanan 2010. Terdampak prahara dobel rekomendasi, Sukaja akhirnya kalah dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Tak hanya itu, Sukaja juga sempat merasakan dinginnya tembok penjara setelah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Denpasar mengetok palu persidangan dengan vonis empat tahun penjara pada kasus bantuan sosial. Kendati belakangan, Mahkamah Agung mengabulkan gugatanya atas perkara tersebut.
Perjalanan Wayan Sukaja tercatat berganti-ganti partai politik. Setelah terdepak dari PDI Perjuangan, Ia sempat bergabung ke Hanura, Nasdem hingga Golkar.
Ketika I Wayan Gindera wafat pada Mei 2025 otomatis posisnya digantikan oleh Sukaja yang berada di posisi kedua dengan perolehan 1.145 suara dalam Pileg 2024, menempatkannya sebagai kandidat PAW paling layak.
Sebelumnya Gindera memperoleh suara terbanyak Partai Golkar di Dapil Tabanan IV (Kediri-Marga) sebanyak 2.023 suara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tabanan telah menyelesaikan verifikasi berkas Sukaja sebagai calon PAW dan menyerahkannya ke Sekretariat DPRD Tabanan.
Setelah itu, Sekretariat DPRD meneruskan proses ke Bupati Tabanan dan Gubernur Bali sebagai perantara menuju keputusan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Sebagai politisi yang pernah mencicipi puncak karir dengan menjadi ketua DPRD Tabanan serta malang melintang di beberapa partai politik Sukaja tentunya tidak bisa dianggap sebelah mata.
Bahkan, Sukaja sebagai anomali (hal tidak biasa) dalam politik sangat mungkin terjadi.
Posisi Secara Politis
Kembalinya I Wayan Sukaja ke kursi DPRD Tabanan memiliki makna strategis. Ia mewakili simbol oposisi yang tetap rasional. Namun, sangat bisa kritis terhadap arah kebijakan daerah.
Sebagai salah satu wajah lama di panggung politik Tabanan, Sukaja membawa modal pengalaman dan konsistensi yang jarang dimiliki politisi baru.
Ia memahami medan politik lokal dengan baik, tahu kapan harus keras dan kapan harus lentur. Khususnya dalam konteks DPRD Tabanan yang mayoritas mutlak dikuasai PDI Perjuangan dengan 31 kursi dari total 40 kursi.
Kehadiran figur seperti Sukaja penting untuk menjaga agar fungsi legislatif tidak terjebak dalam kenyamanan mayoritas. Meskipun, kursi Golkar di DPRD Tabanan saat ini hanya berjumlah empat.
Figur Pengimbang yang Rasional
Sukaja saat ini bisa membangun citra sebagai pengimbang rasional yang menilai kebijakan berdasarkan substansi, bukan semata warna partai.
Sikap ini bisa membuatnya tetap dihormati bahkan oleh lawan politiknya. Dalam situasi politik Tabanan yang cenderung homogen, suara berbeda sering kali dianggap gangguan.
Namun, melalui pendekatan komunikatif, Sukaja harusnya bisa menampilkan oposisi sebagai bagian dari sistem demokrasi, bukan ancaman.
Di sisi lain, keberadaan Sukaja juga menjaga posisi Partai Golkar agar tidak hilang dari peta politik daerah. Dalam beberapa periode terakhir, Golkar memang menghadapi tantangan eksistensial di Bali, salah satu faktornya karena PDI Perjuangan yang dominan.
Sukaja meraih kembali kursi wakil rakyat meski dengan cara yang “tidak biasa” sekilas memberikan nuansa anomali di DPRD Tabanan.
Keterbatasan Struktural
Meski demikian, jalan politik Sukaja saat ini belum tentu mulus. Dominannya PDI Perjuangan di hampir seluruh struktur politik daerah, ruang manuver Golkar sangat terbatas.
Usulan, kritik, atau pandangan fraksi kecil sering kali tenggelam dalam arus besar keputusan mayoritas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Sukaja bagaimana mengubah posisi minoritas agar tetap diperhatikan.
Di sisi internal, sosok Sukaja yang matang secara politik menghadapi realitas politik gaya generasi Z. Pendekatan politik saat ini harus dengan gaya yang lebih populis dan cepat beradaptasi di media sosial. Jika tidak mampu beradaptasi, Sukaja bisa kehilangan momentum.
Peluang Membangun Oposisi Sehat
Dalam lanskap politik lokal yang cenderung satu warna, peran oposisi justru menjadi sangat penting. Sukaja memiliki peluang besar untuk membangun citra Golkar sebagai partai yang kritis namun solutif.
Menyoroti isu-isu publik seperti transparansi anggaran, efektivitas pelayanan publik, hingga kebijakan lingkungan, ia bisa menunjukkan bahwa oposisi bukan berarti menentang, tetapi mengingatkan.
Pendekatan berbasis data dan komunikasi publik yang santun dapat menjadi kekuatan utama. Jika dijalankan secara konsisten, peran ini bukan hanya menjaga keseimbangan kekuasaan, tetapi juga memberi pendidikan politik kepada masyarakat. Bahwa, demokrasi daerah yang sehat tidak hanya suara mayoritas. Tapi, juga suara penyeimbang yang jujur.
Menjaga Keseimbangan Politik Lokal
Dalam konteks hubungan dengan Pemkab Tabanan, posisi Sukaja dan Fraksi Golkar sebaiknya diarahkan pada kolaborasi kritis. Artinya, mendukung kebijakan yang benar dan berani menolak yang melenceng.
Model politik seperti ini akan semakin memperkuat tata kelola pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel.
Jika seorang Sukaja mampu menjaga loyalitasnya pada rakyat, kedewasaan dalam oposisi dan kemampuan komunikasi lintas partai harusnya Wayan Sukaja akan tetap menjadi figur penting dalam menjaga dinamika politik Tabanan.
Dalam bahasa sederhana, politik Tabanan masih membutuhkan “suara lain” yang tidak sekadar menentang, tetapi menyehatkan. Sejauh ini, Wayan Sukaja adalah salah satu dari sedikit politisi yang harusnya masih mampu memainkan peran itu dengan elegan. Meski mulai dari seorang anomali. (*)
Penulis: I Made Argawa S.Sos,H. M.I.Kom (pengajar komunikasi dan jurnalistik di Institut Mpu Kuturan, Singaraja)