Tabanan – Saat ini Bali sedang merasakan dilema dimana adanya Tajen Branangan (dilakukan secara sembunyi-sembunyi) yang berujung memakan korban jiwa manusia. Ada beberapa perspektif di kalangan masyarakat yang bisa dihimpun yaitu :
Tajen Branangan adalah Judi yang melanggar hukum
Dari perspektif ini Tajen Branangan yang merupakan permainan sabung ayam menggunakan taruhan uang tentunya sudah melanggar aturan hukum di Negara Indonesia dan seharunya dilarang karena hukum di indonesia melarang perjudian.
Tajen Branangan adalah budaya bali
Dari perspektif budaya semua perjudian di Bali merupakan Budaya, bahkan ada babad yang memuat tentang tajen di Bali.
Tajen Branangan membawa berkah UMKM
Jika dilihat dari perpektif ekonomi sudah pasti UMKM dan para penyelenggara tajen beranangan mendapatkan keuntungan karena didalamnya terdapat banyak usaha mulai dari makanan, penjualan ayam petarung dan lainya.
Melihat dari ketiga perspektif tersebut penulis menilai, judi di Bali memang sudah membudaya, bukan saja sabung ayam bahkan meceki, dom, dan bererong juga judi. Namun jika judi di Bali dilaksanakan pada saat upacara Yadnya saja lah yang bisa disebut budaya, tidak diadakan sembarangan serta menjadi rutinitas. Jadi jika Tajen dilakukan di upacara yadnya itu namanya tabuh rah, jika dilakukan untuk penggalian dana itu namanya tajen terang, jika dilaksanakan bukan untuk tujuan upacara yadnya dan penggalian dana maka namanya Tajen Beranangan, dan sesuai hukum jika diluar Budaya tajen beranangan sudah seharusnya dilarang, karena tidak ada tujuan kegiatan tersebut.
Sisi manfaat, memang banyak UMKM dan penyelenggara memdapatkan untung namun apakah para bebotoh atau peserta sabung ayam itu juga mendapatkan berkah? Hanya ada kalah dan menang, jika menang tidak ada masalah, jika kalahpun tidak masalah toh juga uang nya mereka, namun yang paling penting adalah dampak ketagihan dari bermain sabung ayam ini yang harus di antisipasi.
Mungkin kita sering mendengar ada orang kaya yang anaknya suka ke tajen beranangan karena saking ketagihan nya sampai habis kekayaannya digunakan untuk bertaruh di Tajen Beranangan, dan bukan hanya dampak itu aja, sampai-sampai nasib masadepan nya juga hancur, dan banyak lagi kasus seperti itu di masyarakat. maka dari itu bukan masalah menang kalah, tetapi dampak dari kecanduan ke tajen beranangan yang harus diantisipasi.
UMKM yang biasa berjualan di tempat Tajen Beranangan jika dilihat dari segi penjualan mereka UMKM pasti untung, namun jika lebih banyak dampak negatif dari bebotoh yang kecanduan ke tajen ya UMKM tidak akan merasakannya karena bebotoh lah yang merasakan dampak negatif tersebut.
Maka, Pemerintah Daerah Bali harus melakukan sesuatu untuk meminimalisir Bebotoh yang kecanduan Tajen Branangan di Bali. tidak ujug-ujug menutup Tajen yang sudah berjalan namun masih ada tokoh masyarakat bermain ke Tajen Branangan dan bahkan ikut menyelenggarakan Tajen Branangan.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang taat, jika tokoh-tokoh di Bali memberikan contoh menolak Tajen Branangan, namun memberikan edukasi tentang Tabuh Rah dan Tajen Terang, masyarakat Bali pasti paham dan tidak banyak yang kecanduan Tajen Branangan, sehingga tajen beranangan bisa dilarang.
Sedikit analogi, contoh meceki, jika dilakukan pada saat orang megebagan atau saat menjaga orang meninggal ya itu tradisi, namun jika dilakukan setiap hari tanpa ada upacara Yadnya itu termasuk judi dan itu dilarang. Jika meceki di luar kegiatan upacara sering dilakukan maka orang yang kecanduan meceki pasti semakin banyak, ketika sudah semakin banyak orang suka meceki diluar kegiatan upacara yadnya secara langsung sektor diluar itu akan mencari keuntungan.
Tulisan ini dibuat untuk memberikan diksi kepada pemerintah Provinsi Bali untuk masa depan SDM Pulau Dewata yang kita cintai. Harapannya agar pemerintah provinsi Bali segera melakukan tindakan atas kejadian Tajen Berdarah yang sudah terjadi.
Penulis: I Gede Made Bayu Mertha Putra, Ketua Peradah Tabanan.